Balai Pustaka dan Bahasa yang Dilahirkan dari Kekuasaan

Balai Pustaka didirikan secara resmi pada 14 September 1917
Balai Pustaka didirikan secara resmi pada 14 September 1917 by AI.

Ada masa ketika kata-kata dikurung dalam pagar. Bukan karena kata itu berbahaya, tapi karena ia punya kekuatan untuk membangkitkan tanya. Di masa itu, buku-buku harus ditimbang lebih dulu: apakah aman bagi kekuasaan?

Lalu datanglah sebuah lembaga. Bernama Balai Pustaka, seperti rumah kecil di tengah taman kolonialisme yang teratur dan sunyi. Di sinilah bahasa Melayu dijahit rapi, huruf demi huruf, menjadi bacaan resmi bagi mereka yang disebut "inlander."

Saya membayangkan ruangan itu. Rak kayu. Meja besar. Pegawai berseragam, mencatat naskah dengan teliti. Di luar, mungkin pohon flamboyan sedang berbunga. Tapi di dalam, sunyi. Di sinilah Azab dan Sengsara lahir, bukan dari tangisan bebas seorang penyair, melainkan dari pena yang tahu betul mana batas yang tak boleh dilampaui.

Kita dibesarkan oleh bahasa yang disunting kekuasaan. Tapi justru di sanalah paradoksnya: bahasa yang dijaga terlalu ketat, pada akhirnya belajar menyiasati kekangan. Maka para pengarang menulis dengan diam, tapi dalam diam itu mengalir kritik. Kadang dalam bentuk keluhan seorang wanita yang tak boleh memilih cintanya, kadang dalam bentuk lelaki yang gagal menjadi modern.

Saya membayangkan Siti Nurbaya sebagai metafora. Ia bukan sekadar gadis Minang yang dijodohkan paksa. Ia adalah pribumi yang diatur. Tapi di balik setiap larik yang penuh sopan santun itu, kita bisa mendengar jeritan yang disamarkan. Balai Pustaka bukan hanya mencetak buku. Ia juga mencetak kehalusan dalam pemberontakan.

Sebagian menyebutnya propaganda. Tapi sejarah tidak pernah seragam. Sebab dari cetakan yang dikontrol itulah muncul generasi sastrawan pertama Indonesia. Mereka menulis dalam bahasa yang bukan milik leluhur mereka, tetapi kemudian menjadikannya bahasa kita bersama.

Saya sering bertanya-tanya: mungkinkah Layar Terkembang menjadi mungkin justru karena tembok itu? Seperti daun yang tumbuh lebih kuat karena angin? Apakah justru dalam kekangan, sastra Indonesia menemukan bentuk awalnya yang paling jujur: tersamar, tapi menyala?

Mungkin. Atau mungkin juga karena manusia tidak pernah benar-benar bisa dibungkam. Ia akan selalu mencari cara untuk berkata. Dalam lirik. Dalam tokoh fiksi. Dalam kisah cinta yang tampaknya biasa saja.

Dan kita hari ini mewarisi semua itu. Bukan hanya bukunya, tapi juga iramanya. Kita membaca Salah Asuhan, dan tahu bahwa pengarangnya sedang bicara lebih jauh dari soal cinta dua ras. Ia sedang mengintip celah peradaban.

Kita adalah bangsa yang lahir dari kalimat yang dulu diawasi. Tapi justru karena itu, kita belajar menulis dengan kesadaran. Dengan kehalusan. Dengan cara yang, mungkin, tak dimiliki mereka yang sejak awal diberi kebebasan.

Sejarah memberi luka. Tapi ia juga memberi ruang untuk tumbuh. Dan Balai Pustaka, dalam segala kontradiksinya, adalah taman kecil tempat bahasa Indonesia pertama kali tumbuh —dalam penjagaan, dalam ketakutan, tapi juga dalam harapan.

Seperti kita ketahui bahwa Balai Pustaka didirikan secara resmi pada 14 September 1917 oleh pemerintah kolonial Belanda dengan nama awal Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (1908), lalu berganti menjadi Kantoor voor de Volkslectuur, dan akhirnya dikenal sebagai Balai Pustaka.

Tujuan utamanya:

  • Mengawasi dan mengontrol bacaan masyarakat pribumi.

  • Menyediakan bahan bacaan yang "aman" dan sesuai dengan nilai-nilai yang diinginkan oleh pemerintah kolonial.

  • Menyebarluaskan literatur dalam bahasa Melayu, Jawa, Sunda, dan bahasa daerah lainnya.

-- Rangkaya Bada
LihatTutupKomentar